RASIS? GAK BANGET DEH!

rasisme

Rasisme, sumber: indoprogress.com

Lucu dan cantik adalah gambaran anak-anak sekolah dasar yang mengenakan pakaian adat pada saat peringatan Hari Kartini tiga hari yang lalu. Ada anak yang memakai kebaya, batik, ulos, dan sebagainya sesuai dengan daerah asal masing-masing. Sebenarnya tujuan yang ingin dicapai adalah menjunjung kemajemukan Indonesia dengan menggunakan pakaian adat tersebut. Kemajemukan Indonesia sudah jelas, dilihat dari beragamnya adat-istiadat, suku, agama, dan kepercayaan. Sayangnya, isu rasisme selalu ada dan tidak pernah hilang karena pola pikir yang sempit dari beberapa orang dan pola pikir itu dipertahankan.

Sebut saja ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta dua tahun yang lalu. Begitu banyak hujatan dan upaya pelengseran yang dilakukan kala itu. Tidak hanya waktu itu, tetapi rasanya juga sampai dengan saat ini melihat munculnya berbagai masalah di ibu kota yang semakin kompleks. Apa yang menjadi masalah utama? Ketika dipertanyakan, tidak sedikit orang menjawab “Ia bukan Islam” atau “Ia Cina”. Hal ini jelas sekali menunjukkan bahwa perbedaan suku dan agama dipandang sebagai penghalang. Mereka tidak peduli dengan pepatah “perbedaan itu indah”.

Ya, perbedaan memang indah. Contoh kecil adalah panorama alam. Coba pikirkan, bagaimana bila semua yang ada di atas tanah adalah pegunungan, tidak ada danau, sungai, laut, dan dataran. Atau bila semuanya laut, tidak ada dataran, gunung, bukit, dan lembah. Kita bisa makan sayur-sayuran karena ada hasil pegunungan, kita juga bisa makan ikan karena ada hasil laut. Contoh lain adalah bila semua anggota tubuh kita mata atau telinga atau mulut. Bayangkan itu! Semuanya satu jenis, tetapi tidak berfungsi dengan efektif untuk kehidupan. Tuhan menciptakan banyak anggota tubuh dalam satu badan untuk saling melengkapi.

Bicara mengenai rasisme berkaitan erat dengan istilah etnosentrisme, chauvinisme, dan primordialisme. Etnosentrisme merupakan sikap yang menganggap budayanya selalu benar; chauvinisme yakni sikap yang mengagung-agungkan pandangannya sendiri; primordialisme adalah sikap yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak lahir. Orang-orang yang berprinsip etnosentrisme, chauvinisme, dan primordialisme akan bermuara pada perbuatan rasis. Mereka akan menjadi orang yang eksklusif dan tertutup.

Tentu yang baik adalah kebersamaan tanpa membedakan, namun bagaimana hal ini bisa terwujud? Hal pertama dan utama yaitu mau berbaur. Kalau individu itu tidak mau berbaur, ia tidak akan pernah bisa terbuka pada perbedaan. Jangankan yang berbeda suku atau agama, yang sesuku atau seagama pun bisa memiliki pandangan yang berbeda toh. Kedua, menghilangkan kesombongan dan gengsi. Dua hal inilah yang membentuk jurang pemisah.

Ketiga, mereka perlu memiliki pikiran yang terbuka luas, bukan pikiran sempit dan stereotip. Orang-orang yang mengkotak-kotakkan dan mempunyai persepsi negatif terhadap sesamanya akan sulit berkembang. Solusi lain yang tidak boleh dilupakan adalah jangan pernah meremehkan orang lain karena ia berasal dari suku “X”, agama “Y”, dan seterusnya. Setiap pribadi orang berbeda-beda. Belum tentu orang bersuku atau beragama tertentu, tindakannya akan sesuai dengan ajaran tradisinya dan agamanya, karena setiap orang mempunyai diri yang berbeda-beda.

Semoga tidak akan ada lagi rasisme-rasisme selanjutnya. Buang jauh-jauh pandangan negatif dan ego diri yang buruk. Yakinlah bahwa perbedaan itu indah dan sudah selayaknya kita terbuka pada perbedaan tersebut. (HC)

Tinggalkan komentar